Search

Sengkarut Hubungan Jakarta dan Pemerintah Pusat – Bebas Akses - kompas.id

ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A

Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno (kanan) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat meninjau fasilitas umum untuk masyarakat berkebutuhan khusus di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (16/10/2018). Kunjungan tersebut untuk menyaksikan secara langsung kelengkapan fasilitas bagi kaum disabilitas serta mengajak seluruh pemangku kepentingan membuat kebijakan yang ramah untuk masyarakat berkebutuhan khusus.

Dalam kurun dua bulan, berulang kali mencuat polemik antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat. Sengkarut hubungan antar-pemerintahan ini seharusnya tidak terjadi jika keduanya berpegang pada kewenangan dan tugas sesuai aturan yang berlaku.

Hujan besar dan banjir membuka awal tahun 2020 untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Ini pula yang menjadi pembuka panas dinginnya hubungan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan pemerintah pusat.

Banyak yang beranggapan banjir di Ibu Kota seharusnya tidak terjadi jika saja normalisasi sungai tetap dilanjutkan. Pemprov DKI Jakarta memang tidak sepaham akan hal ini. Penanggulangan banjir seharusnya dilakukan dengan mengembalikan daerah aliran sungai (DAS) dalam bentuk alam dan vegetasi semestinya. Konsep yang dimaksud oleh Pemprov DKI yaitu naturalisasi.

Sejak masa pergantian masa jabatan gubernur, proyek pembenahan aliran sungai tidak lagi berlanjut. Saat banjir pada awal tahun lalu, pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) sempat mengimbau Pemprov DKI Jakarta untuk kembali melanjutkan proyek normalisasi Sungai Ciliwung. Saat ini, proyek sungai tersebut baru selesai dikerjakan sekitar 16 kilometer dari target seharusnya 30 km.

Namun, Gubernur DKI Jakarta menilai pengerjaan proyek tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab Kementerian PUPR. Tanggung jawab untuk membangun memang berada pada Kementerian PUPR, tetapi wewenang untuk pembebasan lahan merupakan ranah pekerjaan Pemprov DKI Jakarta.

Sebulan setelahnya, saling lempar tanggung jawab kembali terjadi ketika banjir menggenangi ruas jalan underpass di kawasan Kemayoran. Saat itu, intensitas hujan di Jakarta kembali tinggi dan menyebabkan jalan bawah tanah itu tergenang lebih dari 4 meter. Arus lalu lintas di sekitarnya pun macet total karena tak bisa dilalui.

Seperti tidak mau dikaitkan dengan hal tersebut, Gubernur Anies Baswedan menyatakan wewenang kawasan itu berada di bawah Sekretariat Negara. Dengan kata lain, meskipun berada di kawasan administrasi Pemprov DKI Jakarta, banjir di underpass bukan menjadi tanggung jawab Pemprov DKI.

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seusai meninjau banjir Jakarta dengan helikopter di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Rabu (1/1/2020).

Polemik

Belum reda dengan silang pendapat soal banjir, pada akhir Januari polemik Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat juga mencuat ihwal pengerjaan proyek revitalisasi di kawasan Monumen Nasional (Monas). Semula pengerjaan proyek di Plaza Selatan itu menarik perhatian karena lebih dari 190 pepohonan ditebang.

Persoalan revitalisasi kian melebar setelah Kementerian Sekretariat Negara buka suara soal belum adanya izin pengerjaan proyek. Pengelolaan kawasan Monas secara khusus memang berada di bawah Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka.

Komisi Pengarah (Komrah) ini sudah ada sejak 1995 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 25 tentang Pembangunan kawasan Medan Merdeka di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Setiap pembangunan yang dilakukan di kawasan Medan Merdeka, termasuk Monas, harus mendapat izin dari Komrah.

Komrah terdiri atas tujuh instansi gabungan dan diketuai langsung oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg). Sementara Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini gubernur, memegang jabatan sebagai sekretaris dalam struktur organisasi komisi.

Sempat terhenti, revitalisasi Monas akhirnya kembali berjalan seusai Mensesneg selaku Ketua Komrah mengeluarkan izin. Pemprov DKI juga menyatakan berkomitmen untuk mengganti tiga kali lipat penanaman dari jumlah pohon yang telah ditebang. Bahkan Pemprov DKI mengklaim, setelah revitalisasi kawasan, ruang terbuka hijau (RTH) Monas akan meningkat menjadi 64 persen.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kondisi proyek revitalisasi Plaza Selatan Monas di Jakarta, Selasa (28/1/2020). Mensesneg selaku Ketua Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka memberikan izin revitalisasi Monas.

Tarik ulur soal revitalisasi Monas terus berlarut, apalagi belakangan diketahui hal itu terkait dengan rencana Pemprov DKI untuk menyelenggarakan balap Formula E. Rencana perhelatan Formula E tersebut pun disikapi tegas oleh Kemensetneg selaku ketua Komrah, karena belum mengantongi izin dari Komisi Pengarah Pembangunan. Penolakan itu merupakan hasil rapat Komrah dengan pertimbangan banyaknya aset cagar budaya di kawasan Monas.

Pertengahan Februari, polemik rencana pelaksanaan balap Formula E menemui titik terang. Izin untuk penggunaan kawasan Monas sebagai sirkuit balap telah didapat. Hal ini menyusul dikeluarkannya rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) kepada Pemprov DKI Jakarta untuk menggelar balapan di kawasan Monas.

Namun, belakangan, terungkap bahwa TACB mengaku tidak pernah mengeluarkan rekomendasi penggunaan Monas untuk balapan. Tudingan kepada Gubernur Jakarta pun tak terelakkan karena dianggap telah melakukan pembohongan publik dengan memanipulasi rekomendasi dari TACB. Bahkan, Ketua DPRD DKI Jakarta juga bersikap dengan mengadukan langsung hal temuan itu kepada Sekretariat Negara.

Kisruh yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir memang menunjukkan buruknya koordinasi antara Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat.

Hanya beberapa hari setelahnya kisruh rencana penyelenggaraan balap Formula E pun mereda setelah izin dari Komrah diterbitkan. Hal itu juga terkonfirmasi dari PT Jakarta Propertindo yang terus melakukan persiapan  berbagai infrastruktur pergelaran Formula E di kawasan Monas.

Mereda soal kasak kusuk di Monas, tak lantas membuat hubungan Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat mendingin. Teranyar, silang persoalan kembali mencuat terkait rencana pembangunan jalur LRT timur-barat yang direncanakan Pemprov DKI bersinggungan dengan rencana jalur MRT timur-barat.

Pemerintah pusat pun menolak rencana jalur LRT tersebut dan meminta Pemprov DKI menggesernya. Terlebih, jalur MRT barat-timur telah direncanakan jauh sebelumnya sehingga telah memiliki kajian kelayakan. Rencana jalur MRT ini juga telah masuk dalam dokumen Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) dan diusulkan menjadi proyek strategis nasional.

Koordinasi

Rangkaian karut marut hubungan DKI Jakarta dan Pusat tentulah memberikan preseden buruk hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam payung otonomi daerah. Padahal, otonomi bertujuan memacu pengembangan daerah dengan tetap berselaras pada kepentingan nasional.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pusat harus berkesinambungan dan memerlukan koordinasi yang baik. Sengkarut berbagai urusan pembangunan semestinya tidak terjadi jika setiap pihak dapat memahami dan berjalan pada ruang tugas dan wewenang sesuai peraturan yang berlaku.

Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI, otonomi DKI Jakarta diletakkan pada tingkatan provinsi yang dilakukan gubernur. Regulasi tersebut juga mengamanatkan ada beberapa wilayah di Ibu Kota yang ditetapkan untuk fungsi pemerintahan dan penyelenggaraan kepentingan nasional.

Absennya komunikasi dan koordinasi antara Pemprov DKI dan pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan akan berdampak sangat luas.

Dalam hal ini, tugas dan wewenang serta koordinasi pemerintah juga telah diatur dalam konstitusi. Merujuk pada Pasal 9 UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pembagian urusan antara pemerintahan daerah dan pusat terbagi menjadi urusan pemerintahan absolut (sepenuhnya pemerintah pusat), konkuren (dibagi antara pemda dan pemerintah pusat), dan umum (kewenangan presiden).

Sebut saja seperti proyek pembenahan aliran sungai untuk mengatasi banjir yang tak bisa berlanjut lantaran hubungan konkuren Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat tidak berjalan mulus. Begitu pun rencana penyelenggaraan Formula E di Monas, yang semestinya pemprov tetap harus melalui tahapan koordinasi dengan pihak terkait untuk pengelolaan kawasan dengan status aset nasional.

Meskipun demikian, sulit pula melepaskan celah kesalahan dalam koordinasi tersebut dengan kepentingan politik oleh sebagian pihak. Jika memang ada miskoordinasi antarpemerintah, seharusnya hal itu bisa diantisipasi sejak awal. Bukan dibiarkan berlarut dahulu, kemudian baru dilakukan koreksi dan koordinasi antara pemprov dan pemerintah pusat.

Terkait proyek revitalisasi Monas, misalnya, Setneg sempat memberhentikan proyek tersebut karena persoalan perizinan. Namun, belakangan, izin dikeluarkan dan revitalisasi berlanjut. Hal tersebut menegaskan adanya sikap inkonsistensi yang ditunjukkan pemerintah pusat.

Hubungan dan komunikasi antara Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat menjadi kunci keselarasan agenda pembangunan yang dapat memajukan masyarakat. Semua pihak tentu berharap kisruh dalam pengelolaan pemerintah tidak lagi terjadi. Apalagi polemik terkesan dibuat sebagai komoditas politik yang hanya menguntungkan pihak tertentu. (LITBANG KOMPAS)

Let's block ads! (Why?)



"hubungan" - Google Berita
February 26, 2020 at 04:52PM
https://ift.tt/2uxbJiR

Sengkarut Hubungan Jakarta dan Pemerintah Pusat – Bebas Akses - kompas.id
"hubungan" - Google Berita
https://ift.tt/36wpPyU
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sengkarut Hubungan Jakarta dan Pemerintah Pusat – Bebas Akses - kompas.id"

Post a Comment

Powered by Blogger.